Mengapa harus kata
jatuh yang berada di depan kata cinta?
Apakah cinta memang
identik dengan musibah dan malapetaka?
Mengapa harus kata
mati yang berada di belakang kata cinta?
Apakah cinta memang
selalu menghadirkan segumpal lara dan setetes air mata?
Sepenggal sajak yang
saya baca dari buku mba Asma Nadia ini, sungguh menggelitik fikiran saya,
“benar juga” batin saya dalam hati. Saya pun teringat dengan sebuah lagu yang
dipopulerkan oleh Tangga berjudul “Cinta Tak Mungkin Berhenti”, bait pertama
dari lagu tersebut, memiliki makna yang pesis sama dengan kalimat di atas..
“Tak ada kisah tentang
cinta, yang bisa terhindar, dari air mata…”
Memang, tak bisa
dipungkiri dan saya yakin sekali, hampir semua orang pernah meneteskan air mata
karena alasan cinta (air mata kesedihan tentunya, air mata bahagia beda lagi
ceritanya J ), baik laki-laki maupun perempuan, baik seorang
selebritis papan atas dengan wajah dan rambutnya yang menawan, maupun muslimah
yang bahkan selalu memakai cadar. Saya yakin semuanya pernah meneteskan air
mata karena alasan cinta, walaupun hanya sekali dalam hidupnya.
Saya tertegun membaca
salah satu kisah cinta yang tertulis dalam buku “La Tahzan for Broken Hearted
Muslimah” karangannya mba Asma Nadia, kisah itu sangat mirip sekali dengan 3
kisah yang juga pernah saya dengar ceritanya dari beberapa teman saya, kisah
yang sungguh membuat saya miris mendengarnya.
Berkisah tentang
seorang akhwat dan ikhwan yang saling tertarik dan ingin menghalalkan
hubungannya dengan jenjang pernikahan, namun 3 kisah itu memiliki permasalahan
yang sama (setidaknya menurut saya), mereka menjalani proses ta’aruf yang
sedikit lebih lama dari biasanya…
Saat akhwat pertama
mengetahui bahwa ikhwan yang ternyata juga diam-diam ia kagumi akan
menikahinya, ia begitu bahagia, perkenalan demi perkenalan pun terjadi. Bahkan
sudah melibatkan orang tua. Walaupun keduanya masih sama-sama kuliah, namun keduanya
mantap untuk meresmikan hubungan mereka dengan ikatan suci itu.
Keadaan yang sama-sama
belum mapan pun bukan menjadi halangan bagi kesungguhan niat mereka. Mereka
ingin Allah meridhoi hubungan mereka.
Namun ternyata,
kesungguhan itu belum sepenuhnya sekuat karang, ia hancur karena kikisan air
laut. Ketika akhirnya hati dan fikiran pun berubah dengan seketika. Karena
tugas kuliah, mereka diharuskan berpisah sekitar 1 bulan lamanya.
Proses ta’aruf pun tertunda. Dalam waktu tersebut, ternyata sang ikhwan bertemu
dengan akhwat lain yang juga sangat memikat hatinya. Akhirnya mereka memutuskan
untuk menikah, seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya.
Akhwat pertama ini
hanya bisa terbingung-bingung karena proses ta’arufnya yang harus berhenti
secara sepihak. Sedih sudah pasti.. Karena impian yang sudah ia bangun harus
hancur dengan seketika.
Begitu pun dengan
kisah yang kedua. Ketika sang akhwat dan sang ikhwan tidak bisa menghindari
rasa cinta yang tumbuh diantara mereka yang terlahir secara prematur, membuat
mereka diliputi kegundahan dan kebingungan. Mereka yang memiliki amanah di
tempat yang sama, dengan interaksi yang cukup intens, membuat mereka akhirnya
menyadari bahwa keduanya saling mengagumi. Keinginan untuk mewujudkan sebuah
pernikahan dan menjadikan hubungan itu menjadi halal pun terus memenuhi pikiran
mereka.
Namun berbeda dengan
kasus yang pertama, keinginan mereka terbentur oleh satu kata yaitu “Kesiapan”.
Sang ikhwan belum merasa cukup siap dan mapan untuk menghidupi istri dan
keluarganya, ia ingin bisa menikah ketika memang benar2 sudah bisa
berpenghasilan sendiri, karena memang keduanya juga masih kuliah.
Akhirnya keinginan itu
pun terpendam, karena memang tidak ada istilah “menunggu” dalam islam, akhirnya
mereka berpisah secara baik-baik. Mereka mengembalikan semuanya pada Allah,
kalau jodoh ga akan lari kemana.
Beberapa tahun pun
berlalu, sudah waktu yang tepat bagi sang akhwat untuk menikah, sang ikhwan pun
akhirnya selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Sang akhwat yang ternyata
belum bisa melupakan kisah mereka sebelumnya, memberanikan diri mendatangi sang
ikhwan, bertanya apakah sang ikhwan sudah siap mewujudkan harapan mereka
beberapa tahun silam, sang akhwat meyakinkan sang ikhwan bahwa dirinya siap
menerima ikhwan itu apa adanya walau penghasilannya masih pas2an.
Sang ikhwan menyatakan
bahwa dirinya belum siap, dan ia masih membutuhkan waktu yang lama karena ia
ingin menunggu kakak perempuannya yang belum menikah, sang ikhwan pun
menawarkan apakah sang akhwat mau ia kenalkan dengan temannya yang sudah siap
menikah. Sang akhwat pun akhirnya menerima keputusan sang ikhwan dengan ikhlas,
dan mulai membuka hati untuk orang lain. Karena memang keluarganya sangat
berharap ia segera menikah. Walau dalam hatinya sang akhwat sangat sedih,
karena sang ikhwan malah mau menjodohkannya dengan temannya, sang akhwat
bertanya-tanya apa maksud dari semua itu.
Akhirnya beberapa lama
kemudian, sang akhwat menyadari maksud dari kata2 itu, ternyata sang ikhwan
bukannya belum siap, tapi memang perasaannya pada sang akhwat sudah berubah.
Sang akhwat hanya bisa menangis tergugu ketika mengetahui bahwa sebentar lagi
sang ikhwan akan menikah dengan orang lain.
Kisah yang ketiga
tentang seorang akhwat dan ikhwan yang juga memendam perasaan yang sama.
Perasaan yang hanya pernah terungkapkan 1 kali di antara keduanya, hanya 1
kali, itu pun ketika mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Ikhwan kecil
dan akhwat kecil ini sama-sama sekolah di sekolah dasar islam, sehingga
diajarkan mengenai pergaulan dalam islam. Ternyata ajaran itu melekat kuat
dalam memori dan hati mereka. Ketika dengan polosnya sang ikhwan kecil berkata
kepada sang akhwat :
“Aku sebenernya suka
sama kamu, kamu baik banget, lembut, tapi aku bingung, dalam islam kan ga boleh
pacaran..”
“Iya, aku juga suka
sama kamu. Tapi sekarang kita berteman aja yah, kalau kita pacaran, nanti Allah
marah sama kita..” jawab sang akhwat
“Iya, kamu bener..
nanti kalau memang jodoh pasti kita ketemu lagi kan ya..” balas sang ikhwan..
“Iya.. insyaAllah..”
jawab sang akhwat.
Percakapan polos anak
kelas 5 sekolah dasar itu berakhir sampai disitu. Selanjutnya mereka benar2
memegang ucapan mereka, mereka bergaul layaknya seorang teman. Pun ketika sang
ikhwan melanjutkan SMP nya di pesantren dan sang akhwat melanjutkan sekolahnya
di SMP Negeri, dan keduanya masuk ke SMU Negeri, kisah itu tak pernah terungkap
lagi. Bahkan interaksipun tidak ada sama sekali, karena keduanya bersekolah di
tempat yang berbeda.
Namun siapa yang
menyangka memori masa kecil itu terus melekat kuat dihati keduanya. Hingga
masuk ke bangku kuliah, mereka masih memiliki perasaan yang sama, harapan yang
sama. Tanpa interaksi, tanpa bertemu, tanpa komunikasi selama bertahun-tahun,
ternyata keduanya masih menyimpan kenangan itu dalam hati mereka, dan masih
memiliki niat yang kuat untuk mewujudkan cita-cita masa kecil itu. Lucu memang,
saya pun terenyuh mendengarnya, kisah yang sungguh langka buat saya.
Namun ternyata rahasia
itu lahir secara prematur, sang ikhwan akhirnya mengetahui perasaan sang akhwat
yang tdk berubah dari adik sang akhwat yang mendukung sang ikhwan agar segera
menikahi kakaknya apabila sang ikhwan masih memiliki perasaan yang sama. Sang
ikhwan pun dihadapi oleh 2 pilihan sulit, di satu sisi ia bahagia karena
mengetauhi akhwat yang diharapkannya memiliki harapan yang sama, tapi di sisi
lain, sang ikhwan merasa belum siap saat itu, karena belum lulus kuliah dan
bekerja.
Namun sang ikhwan
melakukan suatu kesalahan (menurut saya..), ia mengatakan kepada sang adik,
bahwa memang perasaannya ke kakaknya belum berubah, namun ia belum siap
menikah, jadi blm bisa menjanjikan apa-apa, ia juga berpesan agar membiarkan
semuanya mengalir sesuai takdir Allah kedepannya.
Mendengar jawaban sang
ikhwan, tentu sang akhwat juga bahagia bukan kepalang, menyadari bahwa ternyata
sang ikhwan juga masih memiliki harapan yang sama. Ia akhirnya berusaha setia
untuk menunggu sang ikhwan siap, tanpa memberi tahu apapun pada sang
ikhwan.
Namun ditengah
penantiannya, ia dikagetkan oleh surat dari sang ikhwan yang memintanya untuk
melupakan sang ikhwan, dan sang ikhwan mengatakan bahwa harapannya terhadap
sang akhwat sudah berubah. Kejujuran sang ikhwan memang patut di acungi jempol,
memberikan kepastian sehingga sang akhwat tidak terus menanti sesuatu yang
tidak pasti.
Tapi caranya sungguh
menyayat hati, bagi sang akhwat yang sudah menanti bertahun-tahun lamanya,
apalagi di akhir diketahui bahwa alasan sebenarnya adalah karena sang ikhwan
terpikat oleh perempuan lain.
Kisah yang terakhir,
saya baca dari buku mba Asma Nadia, sejujurnya kisah ini yang mengingatkan saya
pada 3 kisah diatas, dan akhirnya membuat saya berfikir, ternyata
kisah2 seperti itu bukanlah kisah yang langka, ternyata jatuh cinta itu memang
milik siapa saja, dan patah hati pun milik siapa saja. Dulu saya fikir, mana
ada akhwat yang menangis karena cinta yang terjadi sebelum pernikahannya,
ternyata banyak. Dulu saya fikir, ikhwan itu setia, hanya mengungkapkan
perasaannya kepada wanita yang benar-benar akan dinikahinya, ternyata ga semuanya
seperti itu, ikhwan dan akhwat juga manusia..
Kisah yang terakhir
menceritakan tentang seorang akhwat yang sudah siap menikah, kemudian ia
ditawarkan untuk berta’aruf dengan seorang laki-laki yang juga sudah siap
menikah, mapan, dan kebetulan juga menanyakan tentang dirinya. Akhirnya
bertemulah sang akhwat dengan sang ikhwan, proses ta’aruf pun di mulai.
Pertemuan demi
pertemuan pun terjadi. Awalnya mereka bertemu dengan ditemani oleh perantara,
hingga akhirnya pertemuan itu berlangsung hanya berdua saja. Sebenarnya sang
akhwat merasa tidak enak, namun karena sudah diliputi perasaan cinta, ia
membiarkan keinginan sang ikhwan tersebut.
Namun, setelah
berkali-kali pertemuan di adakan ditambah sms yang senantiasa datang, sang
akhwat merasa kok rasanya ta’aruf ini tidak ada ujungnya. Hingga akhirnya sang
akhwat memberanikan diri menetapkan deadline ta’aruf. Namun jawaban ikhwan
tersebut sungguh di luar dugaan :
“Biarkan semua
berjalan seperti air yang mengalir,ukh..”
Sang akhwat menjadi
terbingung-bingung. Apa maksudnya? Kalau tidak ada deadline, mau sampai kapan
ta’aruf ini berlangsung? Akhirnya sang akhwat berterus terang pada sang ikhwan
:
“Saya takut hati saya
menjadi kotor..” dan jawaban sang ikhwan pun kembali mengagetkan sang akhwat..:
“Ya jangan kau kotori
hatimu dong..”
Sang akhwat
benar-benar bingung, sebenernya ikhwan ini serius atau tidak, namun karena
sudah terlanjur cinta, maka sang akhwat pun mengikuti permainan sang ikhwan.
Sang akhwat berfikir, bahwa tidak mungkin sang ikhwan tidak serius, dia kan
seorang ikhwan, dia juga aktivis dakwah. Dia pasti juga paham bagaimana ta’aruf
yang baik.
Karena seminggu
berlalu tanpa progress, akhirnya sang akhwat bercerita pada guru ngajinya, dan
akhirnya guru ngajinya mau mengontak ikhwan tersebut untuk melanjutkan proses
ta’aruf mereka. Namun malamnya, datang sms dari ikhwan tersebut :
“Kamu bilang apa ke
guru ngajimu? Semalam dia sms saya. Saya nggak tau harus jawab apa..”
Spontan sang akhwat
melongo untuk beberapa menit. “Tidak tahu harus jawab apa? Bagaimana sih dia
ini? Sebenernya dia serius atau tidak ingin ta’aruf dengan saya” tanya sang
akhwat dalam hati.
Sang akhwat menjadi
semakin ragu,hatinya mengatakan ini tidak serius. Seharusnya dari awal ia
memang mengakhiri proses ta’aruf tersebut. Namun lagi-lagi cinta membutakan
hati sang akhwat. Lagi-lagi ia terperdaya oleh simbol. Bahwa calonnya tersebut
adalah seorang ikhwan. Tidak mungkin dia main-main.
Akhirnya sang akhwat
bertanya pada teman yang dulu memperkenalkannya kepada ikhwan tersebut, untuk
menanyakan baik-baik kepada ikhwan itu sebenernya apa yang dia inginkan..
Lama sms itu tak
berbalas. Sementara hubungan dengan ikhwan tersebut masih sama saja. Sms2 dan
pertemuan2 yang tetap tak membuahkan keputusan, hanya menambahkan rasa cinta
dan berbunga pada hati sang akhwat.
Hingga suatu hari,
sang akhwat mendapat sms dari sang ikhwan. Sms yang sangat panjang, namun yang
diingat oleh sang akhwat hanya sebaris kalimat :
“Mengingat
ketidaksiapan saya menikah, mungkin lebih baik kita bersahabat saja ya ukh..”
Sang ikhwan
membeberkan alasan mengapa dia blm siap menikah, tapi nggak ada yang berhasil
diingat oleh sang akhwat saking shock nya membaca sms tersebut.
Beberapa pertanyaan
muncul di benak sang akhwat :
- Kalau dia memang belum siap menikah, kenapa dia menerima tawaran ta’aruf dari teman saya yang juga temannya?
- Kalau dia tidak sreg dengan saya, kenapa dia masih meneruskan proses taaruf sampai sebulan lamanya yang membuat perasaan saya semakin dalam padanya?
- Kalau dia memang tidak serius dengan saya, kenapa dia mengirimi saya kata2 manis yg membuat harapan saya semakin melambung?
- Apa maksud dia dibalik semua itu?
Sang akhwat akhirnya
bertanya tentang masalah tersebut ke temannya yang juga teman ikhwan itu,
ternyata temannya memang tau jawabannya:
“Dia memutuskan
ta’aruf itu bukan karena belum siap, tapi karena dia juga sedang ta’aruf dengan
akhwat lain..”
Betapa kagetnya sang
akhwat mendapat kabar tersebut, Sang akhwat merasa sangat marah, harga dirinya
terasa diinjak-injak. “Disini saya menyiapkan hati untuknya seorang, tapi
disana hatinya bukan hanya untuk saya, melainkan untuk memilih: saya atau
akhwat itu..” pikir sang akhwat dalam hati
Hati sang akhwat
semakin sakit mendengar jawaban sang ikhwan atas pertanyaannya tentang semua
kejadian ini :
“Kamu telah salah
mengartikan arti ta’aruf yang saya maksudkan..” ucap sang ikhwan.
Sang akhwat hanya bisa
memegangi dadanya yang semakin sakit. “Memang apa arti ta’aruf menurut dia?
Hanya kenalan saja” tanya sang akhwat dalam hati.
Mungkin kalau sejak
awal hubungan mereka hanya teman, tidak akan sesakit ini. Tapi hubungan mereka
sekarang adalah untuk ta’aruf, ta’aruf yang bukan hanya berkenalan, tapi
ta’aruf sebagai proses menuju pernikahan. Sang akhwat masih teringat jelas
perkataan temannya ketika menawarkan ikhwan tersebut kepadanya :
“ Ada yang nanyain
kamu lho. Ikhwan. Sudah bekerja, sudah siap nikah. Malah dia sudah pengen
banget nikah dan lagi cari istri. Dia mau ta’aruf sama kamu. Kamu mau nggak?
Ta’aruf untuk menikah,
itu yang dipahami sang akhwat, entah apa yang sebenernya ada di benak sang
ikhwan.
Akhirnya 2 bulan
kemudian, sang akhwat mendengar bahwa sang ikhwan akan menikah dengan akhwat
lain.
Sementara sang akhwat
hanya bisa menahan sakit karena merasa dilecehkan dan perasaan berdosa karena
telah jatuh cinta pada orang yang salah. Sang akhwat hanya berharap bahwa tidak
ada lagi ikhwan yang seperti itu. Berapa banyak akhwat yang akan sakit kalau
banyak ikhwan yang tercipta seperti itu? Dan ketika para ikhwan itu berkumpul,
mereka menertawakan para akhwat yang telah terbodohi.
Dulu sang akhwat
selalu berharap, agar diberikan rasa cinta oleh Allah pada ikhwan yang
berta’aruf dengannya. Tapi kisah ini benar-benar menjadi pelajaran yang
berharga bagi sang akhwat untuk merevisi doanya. Ia berharap hanya akan jatuh
cinta pada lelaki yang sudah menjadi suaminya.
Yah, ikhwan juga
manusia…
Kisah-kisah di atas
adalah kisah2 nyata, yang saya dapat dari buku dan penuturan langsung dari
orang2 yang saya kenal. Sungguh miris memang saya mendengar cerita semacam itu.
Saya tidak bermaksud membuka aib siapapun disini, karenanya saya tidak
menuliskan secara detail dan tidak ada identitas. Saya hanya berharap kisah2
ini bisa menjadi pembelajaran yang berharga untuk kita..
Memang, perasaan cinta
itu manusiawi. Bahkan itu adalah salah satu nikmat pemberian Allah. Namun hal
tersebut akan menjadi indah bila kita bisa mengelolanya dengan baik. Jangan
langsung percaya hanya karena ia ikhwan, tapi pastikan, apakah ia sudah bisa
sejantan Ali dalam mengelola perasaannya kepadamu.
Sekali lagi, ikhwan
juga manusia, ia juga manusia yang tidak sempurna, yang bisa khilaf. Mereka
memiliki sifat sebagaimana laki-laki pada umumnya: MEMILIH.
Ia akan senantiasa
menyeleksi wanita siapa yang paling ia ingini, bahkan sampai detik ijab kabul pun
ia bisa senantiasa terus menyeleksi dan membandingkan.
Maka bagi para akhwat
yang menunggu, jangan biarkan perasaanmu jatuh pada ikhwan yang salah. Yang
hanya bisa terus mengumpulkan akhwat2, tebar pesona, memberi harapan, dan
disaat kamu sudah berharap tinggi dan merasa diperhatikan, ada berjuta wanita
lain yang mendapat perlakuan yang sama. Hingga akhirnya ia akan memilih mana
akhwat yang paling ia senangi diantara semua akhwat tersebut.
Pastikan bahwa ikhwan
tersebut memang serius, dan memang berani berjalan di jalur yang serius, yang
legal sesuai syariat, dan jangan biarkan benih cinta tersebut tumbuh sebelum ia
berhadapan dengan ayahmu, dan mengikrarkan perjanjian suci itu di hadapanmu,
keluargamu, teman-temanmu, dan yang paling penting dihadapan Allah dan seluruh
penduduk langit. Mitsaqan ghalizaa.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir.”
(Ar Rum:21)
Cinta yang sejati itu
hanya timbul ketika sudah menikah, kecenderungan yang hadir sebelum pernikahan,
bisa jadi adalah pemberian dari Allah sebagai tanda atau jawaban dari
istikharah kita, untuk memantapkan hati kita. Namun bisa juga sebagai godaan
dari syaitan. Karena nya perasaan yang hadir sebelum ijab kabul, harus bisa
kita kelola dengan baik, agar tidak berkembang melewati batas yang seharusnya.
Kendatipun sudah
menikah, perasaan itu pun harus bisa kita kelola sebisa mungkin agar tidak
berlebihan karena meskipun sudah menjadi suami, bukan berarti suami kita itu
tidak akan membuat kita patah hati.
Selain itu, cintailah
pasanganmu karena Allah, dan tidak melebihi kecintaan-Mu kepada Allah. Sehingga
apapun yang nantinya akan melukaimu, Allah akan senantiasa menjaga perasaanmu.
“Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah,
menolak karena Allah, dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya..”
(H.R Abu Dawud)
Mencintai itu
manusiawi, terluka dan patah hati itu juga manusiawi.. Tapi yang paling
penting, kita harus bisa senantiasa mengelola perasaan itu, dan mengambil
hikmah dari semua yang terjadi. Semoga apapun yang terjadi dalam hidup kita,
semakin membuat kita dekat dengan-Nya, dan selalu kita niatkan untuk meraih
ridho-Nya. Aamiin..
Wallahualam bishowab…
0 komentar:
Posting Komentar