Sejak
aku mengenalnya, aku tahu aku harus siap berbagi dengan istri pertamanya.
Segalanya dan lahir batin. Bagaimana tidak? Istri pertamanya itu lebih dahulu
dikenalnya dan banyak memberinya kenyamanan jiwa.
Sebagaimana
istri, belahan jiwa, istri pertamanya itu adalah bagian hidup suamiku. Suamiku
mengenalnya dan berinteraksi mesra dengannya jauh sebelum mengenalku. Jadi, aku
memang harus tahu diri dan menaruh takzim.
Suamiku
mengenalku saat aku berusia ranum, 23 tahun. Sebelum itu, suamiku sudah
mengikat janji dengan istri pertamanya.
Akupun
mengenal suamiku dengan perantara istri pertamanya itu, jadi sekali lagi,
bagaimana aku bisa menghalangi suamiku datang dan memenuhi panggilan istri
pertamanya setiap detik, menit, jam, hari, pekan, bulan bahkan tahun?
Aku
sudah menetapkan hatiku: aku ini hanya istri kedua setelah dia. Tulus dan tanpa
paksaan.
Hari
berganti hari, dan kini usia pernikahan kami tujuh tahun. Selama itu pula aku,
suamiku, dan istri pertamanya semakin akur saja. Semua berjalan dengan sangat
romantis. Romantis yang berbeda, bukan mellow atau possessive.
Aku,
suamiku dan istri pertamanya itu saling menguatkan. Ya, panggilan-panggilan
dari istri pertamanya selalu kulempangkan jalannya.
Kubiarkan
suamiku memenuhi kewajibannya pada istri pertamanya dengan tanpa beban, tanpa
kureweli dan kukondisikan anak-anakku sejak dini untuk memahami belahan jiwa
ayah mereka yang lain.
Dan
meskipun masih anak-anak, aku yakin mereka akan bertumbuh dengan keyakinan sama
denganku, toh ayah mereka adalah seorang ayah yang berusaha membagi
waktu dengan adil. Cinta yang bervisi surga, begitu mimpi kami.
Aku
sering berseloroh dengan suamiku, “Aku ini hanya istri kedua setelah dia.
Begitu juga istri-istri kakanda berikutnya, jika tidak bisa berinteraksi dengan
istri pertamamu, lebih baik jangan nambah, hahaha…” dan entahlah, kami tidak
pernah merasa jengah dan tabu berbicara tentang momok pernikahan bagi para
istri : POLIGAMI.
Karena
bagi kami semua itu ada waktunya, ada aturan dan ada standarnya. Jadi, aku dan
istri pertamanya sudah memahami suamiku, hanya tinggal kehendak Allah bukan?
Aku
tahu semakin bertambah usia pernikahan kami, istri pertamanya akan semakin
banyak meminta perhatian, konsentrasi, pemikiran dan bahkan waktu suamiku.
Karena istri pertamanya itu bukan sesuatu yang biasa-biasa saja.
Aku
bahkan merasa nyaman berinteraksi dengannya. Aku, suamiku, dan istri pertamanya
telah sama menemukan belahan jiwa, bukan cinta fisik yang berbatas usia, tapi
romantisme heroik yang saling memotivasi untuk semakin teguh.
Ya,ya,ya…
sejak semua cinta bermula aku sudah meneguhkan diriku: aku ini istri kedua
setelah Jama’ah dan amanah dakwah yang lebih dulu dicintainya. Salam
Inspiratif!
Penulis
adalah Ibu Rumah Tangga tinggal di Solo
(fauziya/eramuslim/muslimahzone.com)
0 komentar:
Posting Komentar