v Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Zainab dilahirkan
sepuluh tahun sebelum ayah beliau ﷺ diangkat sebagai Nabi. Beliau adalah putri pertama Rasulullah ﷺ dari istri beliau ummul mukminin Khadijah binti Khuwailid. Rasulullah
ﷺ telah menikahkannya dengan sepupu beliau, yaitu
Abul ‘Ash bin Rabi’ bin Abdul Uzza bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay sebelum
beliau diangkat menjadi Nabi, atau ketika Islam belum tersebar di tengah-tengah
mereka. lbnu Abul ‘Ash adalah Halah binti Khuwaylid, bibi Zainab dari pihak
ibu. Dari pernikahannya dengan Abul ‘Ash mereka mempunyai dua orang anak: Ali
dan Umamah. Ali meninggal ketika masih kanak-kanak dan Umamah tumbuh dewasa dan
kemudian menikah dengan Ali bin Abi Thalib, setelah wafatnya Fatimah.
Setelah
berumah tangga, Zainab tinggal bersama Abul ‘Ash bin Rabi’ suaminya. Hingga
pada suatu ketika, pada saat suaminya pergi bekerja, Zainab mengunjungi ibunya.
Dan ia dapatkan keluarganya telah mendapatkan suatu karunia dengan diangkatnya,
ayahnya, Nabi Muhammad menjadi Nabi akhir zaman. Zainab mendengarkan keterangan
tentang Islam dari ibunya, Khadijah.. Keterangan ini membuat hatinya lembut dan
menerima hidayah Islam. Dan keislamannya ini ia pegang dengan teguh, walaupun
ia belum menerangkan keislamannya kepada suaminya, Abul ‘Ash.
Sedangkan
Abul ‘Ash bin Rabi’ adalah termasuk orang-orang musyrik yang menyembah berhala.
Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai peniaga. Ia sering meninggalkan Zainab
untuk keperluan dagangnya. la sudah mendengar tentang pengakuan Muhammad
sebagai Nabi .. Namun, ia tidak mengetahui bahwa istrinya, Zainab sudah memeluk
Islam. Pada tahun ke-6 setelah hijrah Nabi . ke Madinah.
Abul
‘Ash bin Rabi’ pergi ke Syria beserta kafilah-kafilah Quraisy untuk berdagang.
Ketika Rasulullah . mendengar bahwa ada kafilah Quraisy yang sedang kembali
dari Syria, beliau mengirim Zaid bin Haritsah ra. bersama 313 pasukan muslimin
untuk menyerang kafilah Quraisy ini. Mereka menghadang kafilah ini di dekat
Al-is di Badar pada bulan jumadil Awal. Mereka menangkap kafilah itu dan
barang-barang yang dibawanya serta menahan beberapa orang dari kafilah itu,
termasuk Abul ‘Ash bin Rabi’. Ketika penduduk Mekkah datang unluk menebus para
tawanan, maka saudara laki-laki Abul ‘Ash, yaitu Amar bin Rabi’, telah datang
untuk menebus dirinya. Ketika itu, Zainab istri Abul ‘Ash masih tinggal di
Mekkah. la pun telah mendengar berita serangan kaum muslimin atas
kafilah-kafilah Quraisy termasuk berita tertawannya Abul ‘Ash.
Berita
ini sangat meiiyedihkannya. Lalu ia mengirimkan kalungnya yang terbuat dari
batu onyx Zafar hadiah dari ibunya, Khadijah binti Khuwaylid ra.. Zafar adalah
sebuah gunung di Yaman. Khadijah binti Khuwaylid telah memberikan kalung itu
kepada Zainab ketika ia akan menikah dengan Abul ‘Ash bin Rabi’. Dan kali ini,
Zainab mengirimkan kalung itu sebagai tebusan atas suaminya, Abul ‘Ash. Kalung
itu sampai di tangan Rasulullah . Ketika beliau . melihat kalung itu, beliau
segera mengenalinya. Dan kalung itu mengingatkan beliau kepada istrinya yang
sangat ia sayangi, Khadijah. Beliau berkata, ‘Seorang Mukmin adatah penolong
bagi orang Mukmin lainnya. Setidaknya mereka memberikan perlindungan. Kita
lindungi orang yang dilindungi oleh Zainab. jika kalian bisa mencari jalan
untuk niembebaskan Abul ‘Ash kepada Zainab dan mengembalikan kalungnya itu
kepadanya, maka lakukaniah.’ Mereka menjawab, ‘Baik, ya Rasulullah ‘ Maka
mereka segera membebaskan Abul ‘Ash dan mengembalikan kalung itu kepada Zainab.
Kemudian
Rasulullah ﷺ, menyuruh Abul ‘Ash agar berjanji untuk membiarkan Zainab
bergabung bersama Rasulullah ﷺ. Dia pun berjanji dan
memenuhi janjinya itu. Ketika Rasulullah . pulang ke rumahnya, Zainab datang
menemuinya dan meminta untuk mengembalikan kepada Abul ‘Ash apa yang pernah
diambil darinya. Beliau mengabulkannya. Pada kesempatan itu, Beliau pun telah
melarang Zainab agar tidak mendatangi Abul ‘Ash, karena dia tidak halal bagi
Zainab selama dia masih kafir.
Lalu
Abul ‘Ash kembali ke Mekkah dan menyelesaikan semua kewajibannya. Kemudian dia
masuk Islam dan kembali kepada Rasulullah sebagai seorang Muslim. Dia berhijrah
pada bulan Muharram, 7 Hijriyah. Maka Rasulullah ﷺ pun mengembalikan Zainab kepadanya, berdasarkan
pernikahannya yang pertama.
Zainab
wafat pada tahun 8 Hijriyah. Orang-orang yang memandikan jenazahnya ketika itu,
antara lain ialah; Ummu Aiman, Saudah binti Zam’ah, Ummu Athiyah dan Ummu
Salamah.. Rasulullah ﷺ berpesan kepada mereka yang akan memandikan
jenazahnya ketika itu, ‘Basuhilah dia dalarn jumlah yang ganjil, 3 atau 5 kali
atau lebih jika kalian merasa lebih baik begitu. Mulailah dari sisi kanan dan
anggota-anggota wudhu. Mandikan dia dengan air dan bunga. Bubuhi sedikit kapur
barus pada air siraman yang terakhir. Jika kalian sudah selesai beritahukaniah
kepadaku.’ Ketika itu, rambut jenazah dikepang meniadi tiga kepangan, di
samping dan di depan lalu dikebelakangkan. Setelah selesai dari memandikan
jenazah, Ummu Athiyah memberitahukan kepada Nabi. Lalu Nabi memberikan
selimutnya dan berkata, ‘Kafanilah dia dengan kain ini.’
Cerita
cinta
Cinta
tak cukup untuk menyatukan dua manusia. Tatkala jalan telah berbeda, tak kan
mungkin mereka saling bersama. Namun cahaya keimanan akan mempertemukan kembali
yang telah terpisahkan sekian lama.
Tersebutlah
kisah tentang putri pemimpin para nabi. Terlahir dari rahim ibundanya, seorang
wanita bangan Quraisy, Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin
Qushay Al-Qurasyiyyah radhiallahu ‘anhu, saat ayahnya memasuki usia tiga puluh
tahun. Dia bernama Zainab radhiallahu ‘anha bintu Muhammad bin ‘Abdillah
ﷺ.
Semasa
hidup ibunya, sang putri yang menawan ini disunting oleh seorang pemuda, Abul
‘Ash bin Ar-Rabi’ bin ‘Abdil ‘Uzza bin ‘Abdisy Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay
Al-Qurasyi namanya. Dia putra Halah bintu Khuwailid, saudari perempuan
Khadijah. Ketika itu, Khadijah radhiallahu ‘anha menghadiahkan seuntai
kalung untuk pengantin putrinya. Dari pernikahan itu, lahir Umamah dan ‘Ali,
dua putra-putri Abul ‘Ash.
Tatkala
cahaya Islam merebak, Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka hati Zainab radhiallahu
‘anha untuk menyambutnya. Namun, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ masih berada di
atas agama nenek moyangnya. Dua insan di atas dua jalan yang berbeda.
Orang-orang
musyrik pun mendesak Abul ‘Ash untuk menceraikan Zainab, namun Abul ‘Ash dengan
tegas menolak mentah-mentah permintaan mereka. Akan tetapi, Zainab radhiallahu
‘anha masih pula tertahan untuk bertolak ke bumi hijrah.
Ramadhan
tahun kedua setelah hijrah, terukir peristiwa Badr. Dalam pertempuran itu,
terbunuh tujuh puluh orang dari pihak musyrikin dan tertawan tujuh puluh orang
dari mereka. Di antara tawanan itu ada Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’.
Penduduk
Makkah pun mengirim tebusan untuk membebaskan para tawanan. Terselip di antara
harta tebusan itu seuntai kalung milik Zainab radhiallahu ‘anha untuk kebebasan
suaminya. Ketika melihat kalung itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terkenang pada Khadijah radhiallahu ‘anha yang telah tiada. Betapa terharu hati
beliau mengingat putri yang dicintainya. Lalu beliau berkata pada para
shahabat, “Apabila kalian bersedia membebaskan tawanan yang ditebus oleh Zainab
dan mengembalikan harta tebusan yang dia berikan, lakukanlah hal itu.” Para
shahabat pun menjawab, “Baiklah, wahai Rasulullah!”
Kemudian
mereka lepaskan Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ dan mengembalikan seuntai kalung Zainab
yang dijadikan harta tebusan itu. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam meminta Abul ‘Ash untuk berjanji agar membiarkan Zainab pergi
meninggalkan negeri Makkah menuju Madinah. Kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengutus Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu bersama salah
seorang Anshar sembari berkata, “Pergilah kalian ke perkampungan Ya’juj sampai
bertemu dengan Zainab, lalu bawalah dia kemari.”
Berpisahlah
Zainab bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas jalan Islam,
meninggalkan suaminya yang masih berkubang dalam kesyirikan.
Menjelang
peristiwa Fathu Makkah, Abul ‘Ash keluar dari negeri Makkah bersama rombongan
dagang membawa barang-barang dagangan milik penduduk Makkah menuju Syam. Dalam
perjalanannya, rombongan itu bertemu dengan seratus tujuhpuluh orang pasukan
Zaid bin Haritsah yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk menghadang rombongan dagang itu. Pasukan muslimin pun berhasil menawan
mereka dan mengambil harta yang dibawa oleh rombongan musyrikin itu, namun Abul
‘Ash berhasil meloloskan diri. Ketika gelap malam merambah, Abul ‘Ash dengan
diam-diam menemui istrinya, Zainab bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, untuk meminta perlindungan.
Subuh
tiba. Rasulullah ﷺ dan para shahabat berdiri menunaikan Shalat Shubuh. Saat itu,
Zainab radhiallahu ‘anha berseru dengan suara lantang, “Wahai
kaum muslimin, sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Abul ‘Ash
bin Ar-Rabi’!”
Usai
shalat, Rasulullah ﷺ menghadap pada para shahabat sembari bertanya,
“Kalian mendengar apa yang aku dengar?” “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau ﷺ berkata lagi, “Sesungguhnya aku tidak mengetahui apa pun
sampai aku mendengar apa yang baru saja kalian dengar.”
Kemudian
beliau ﷺ menemui putrinya dan berpesan, “Wahai
putriku, muliakanlah dia, namun jangan sekali-kali dia mendekatimu karena
dirimu tidak halal baginya.” Zainab radhiallahu ‘anha menjawab, “Sesungguhnya
dia datang semata untuk mencari hartanya.
Setelah
itu Rasulullah ﷺ mengumpulkan pasukan Zaid bin Haritsah radhiallahu
‘anhu dan berkata pada mereka, “Sesungguhnya Abul ‘Ash termasuk keluarga kami
sebagaimana kalian ketahui, dan kalian telah mengambil hartanya sebagai fai’
yang diberikan Allah kepada kalian. Namun aku ingin kalian berbuat kebaikan dan
mengembalikan harta itu kepadanya. Akan tetapi kalau kalian enggan, maka kalian
lebih berhak atas harta itu.” Para shahabat menjawab, “Wahai
Rasulullah, kami akan kembalikan harta itu padanya.”
Seluruh
harta yang dibawa Abul ‘Ash kembali ke tangannya dan tidak berkurang sedikit
pun. Segera dia membawa harta itu kembali ke Makkah dan mengembalikan setiap
harta titipan penduduk Makkah pada pemiliknya. Lalu dia bertanya, “Apakah masih
ada di antara kalian yang belum mengambil kembali hartanya?” Mereka menjawab,
“Semoga Allah memberikan balasan yang baik padamu. Engkau benar-benar seorang
yang mulia dan memenuhi janji.” Abul ‘Ash pun kemudian menegaskan,
“Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya! Demi
Allah, tidak ada yang menahanku untuk masuk Islam saat itu, kecuali aku
khawatir kalian menyangka bahwa aku memakan harta kalian. Sekarang setelah
Allah Subhanahu wa Ta’ala tunaikan harta itu kepada kalian masing-masing, aku
masuk Islam.” Abul ‘Ash bergegas meninggalkan Makkah, hingga bertemu dengan
Rasulullah ﷺ dalam keadaan Islam.
Enam
tahun bukanlah rentang waktu yang sebentar. Akhir penantian yang sekian lama
pun menjelang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan putri
tercintanya, Zainab radhiallahu ‘anhu kepada suaminya, Abul ‘Ash bin Ar- Rabi’
radhiallahu ‘anhu, dengan nikahnya yang dulu dan tanpa menunaikan kembali
maharnya. Dua insan kini bersama meniti jalan mereka …
Namun,
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan taqdir-Nya. Tak lama setelah
pertemuan itu, Zainab bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke
hadapan Rabb-nya, pada tahun kedelapan setelah hijrah, meninggalkan kekasihnya
untuk selamanya.
Di
antara para shahabiyyah yang memandikan jenazahnya, ada Ummu ‘Athiyyah
Al-Anshariyah radhiallahu ‘anha. Darinya terpapar kisah dimandikannya jenazah
Zainab radhiallahu ‘anha, sesuai perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dengan guyuran air bercampur daun bidara. Seusai itu, rambut Zainab
radhiallahu ‘anha dijalin menjadi tiga jalinan. Jenazahnya dibungkus dengan
kain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Putri pemimpin para nabi itu
telah pergi.
[1] .Thobaqotul kubro liibnu
Sa’id 8: hal 30-36, Al-ishobah 8:91, Asadul Ghobah 7:129, Nisa’ Haula Rosul, Sayid Jumaili hal 138-146.
0 komentar:
Posting Komentar